Kata "bahaya" mendapat tekanan serius dari Untung karena dalam waktu beberapa tahun ke depan, atau lima tahun lagi, generasi baby boomers yang notabene merupakan penghasil generasi milenial, sudah tidak bisa membeli rumah.
Generasi X, dan setelahnya, termasuk generasi milenial, seharusnya menggantikan ibu-bapaknya dalam pembelian rumah, baik tapak maupun apartemen yang tersedia di pasar. "Jika mereka cuek, pasar properti akan kelebihan pasokan. Namun, di sisi lain, permintaan justru mengalami penurunan. Ini situasi yang membahayakan jika supply melebihi demand," tutur Untung.
Gejala oversupply sejatinya sudah terjadi sejak dua tahun terakhir. Bahkan, hingga kuartal III-2017, Colliers International Indonesia mencatat dari total pasokan apartemen baru sebanyak 15.277 unit, terserap atau terjual 85,6 persen. Padahal, jumlah pasokan ini jauh lebih rendah ketimbang proyeksi Colliers pada awal tahun sekitar 21.167 unit.
Sementara untuk rumah tapak, BI melaporkan hingga kuartal II-2017, penjualannya tumbuh melambat dibanding triwulan sebelumnya dari 4,16 persen menjadi 3,16 persen. Perlambatan penjualan residensial, alasan BI, sejalan dengan terbatasnya permintaan akan rumah hunian.
Associate Director Research Colliers Ferry Salanto mengatakan ada dua pasar yang aktif yakni kelas menengah ke bawah yang sensitif terhadap uang muka atau down payment (DP) dan cicilan per bulan.
"Mereka ini adalah pembeli end user. Mereka kesulitan untuk membeli karena terbentur tingginya uang muka atau down payment (DP) dan cicilan per bulan," kata dia. Kedua adalah kelas menengah atas yang merupakan investor. Mereka akan berpikir ulang untuk membeli apartemen baru terlebih bila pasar sewa belum pulih seperti saat ini.
Belanja leisure. Kecenderungan perubahan gaya hidup, diakui Untung, sedang melanda generasi milenial Indonesia usia 25-35 saat ini. Mereka lebih mementingkan kegiatan leisure dan traveling ketimbang membeli rumah. Harga Genteng
Meningkatnya pendapatan, kendati hanya beberapa persen, berkontribusi terhadap perubahan gaya hidup mereka. Hal ini ditambah pertumbuhan internet of things atau IOT, yang membuat aktivitas leisure dan traveling lebih masif. Masyarakat cenderung mengikuti "apa kata media sosial". Sementara di satu sisi, media sosial dipenuhi kalangan the haves yang gemar mempertontonkan kegiatan mereka, mulai dari nongkrong di kafe, liburan, hingga bepergian ke tempat wisata.
Menurut laporan Bank Indonesia mengenai preferensi konsumen terhadap investasi berbentuk properti, memang turun 0,6 persen menjadi 22,5 persen selama bulan Oktober 2017 saja. Sementara itu, sebanyak 65,9 persen konsumen menyatakan tidak memiliki rencana membeli atau membangun rumah dalam 12 mendatang. Angka ini naik dari sebelumnya 64,4 persen.
Sebaliknya, jumlah konsumen yang menyatakan adanya kemungkinan membeli atau membangun rumah menurun dari 29,1 persen menjadi 26,9 persen. Harga rumah yang terus melambun. Baik Ferry maupun Untung mengakui, bagi generasi milenial selain masalah pendapatan yang naik hanya beberapa persen, harga properti yang terus melambung menjadi salah satu sebab utama lemahnya permintaan akan hunian.
Colliers mencatat, pertumbuhan harga rata-rata apartemen di Jakarta sebesar 1 persen bila dibandingkan kuartal sebelumnya, dan 4,5 persen bila dibandingkan kuartal yang sama tahun lalu. Harga rata-rata apartemen di kawasan Central Business District Jakarta yaitu Rp 50,07 juta per meter persegi.
Di wilayah Jakarta Selatan tercatat Rp 37,7 juta per meter persegi. Adapun untuk area non primer senilai Rp 24,3 juta per meter persegi. Sementara pertumbuhan harga rumah tapak minimal, menurut riset Rumah123 sekitar 15 persen hingga 20 persen di wilayah Jadebotabek. Untuk diketahui, pendapatan rata-rata generasi milenial saat ini menurut riset Karir.com adalah Rp 6.072.111 per bulan.
Sedangkan untuk dapat mencicil rumah di Jakarta dengan harga termurah Rp 300 juta, dibutuhkan pendapatan minimal Rp 7,5 juta per bulan. Sementara jika ditelusuri secara historis sejak 2009-2012 yang merupakan era ledakan (booming) properti, kenaikan harga rumah bisa mencapai 200 persen, atau 50 persen per tahun.
Untung memprediksi peningkatan harga rumah dalam lima tahun mendatang sekitar 150 persen, sementara kenaikan pendapatan hanya 60 persen dalam periode yang sama. Dengan estimasi kenaikan minimal 20 persen per tahun, harga rumah yang saat ini dipatok Rp 300 juta akan menjadi Rp 750 juta.
Peran pemerintah. Di mana peran pemerintah? Di bawah Kabinet Kerja, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) terus berupaya melahirkan program yang memudahkan masyarakat mengakses hunian. Termasuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan generasi milenial. Selain program nasional pembangunan Sejuta Rumah yang bisa dijangkau melalui berbagai skim, di antaranya Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Selisih Bunga (SSB), dan Bantuan Uang Muka (BUM), juga pengembangan hunian terintegrasi transit oriented development ( TOD).
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan pembangunan hunian berbasis TOD ini merupakan solusi untuk menyediakan hunian layak dan terjangkau. Bahkan, masyarakat mendapat manfaat dengan tinggal di TOD karena bisa menggunakan transportasi publik berupa kereta komuter sehingga waktu perjalanan lebih singkat dibandingkan dengan membawa kendaraan pribadi.
"Melalui Perum Perumnas di bawah Kementerian BUMN yang bekerja sama dengan PT KAI sebagai pemilik lahan di bawah Kementerian Perhubungan, mari kita bantu terlaksananya TOD," kata Basuki. Hingga sejauh ini, 4 BUMN telah berkomitmen untuk pembangunan hunian yang menempel stasiun kereta komuter yaitu Perum Perumnas, PT Waskita Karya (Persero) Tbk, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau Wika, dan PT PP (Persero) Tbk.
Harga yang dipatok untuk apartemen TOD ini bervariasi mulai dari Rp 7 juta per meter persegi agar bisa diakses kalangan MBR dan generasi milenial dengan pendapatan kurang dari Rp 10 juta per bulan serta Rp 9 juta per meter persegi hingga Rp 12 juta per meter persegi untuk unit-unit komersial. Perumnas menggarap TOD Stasiun Tanjung Barat dan Pondok Cina. Di Tanjung Barat, Perumnas menjual sebanyak 25 persen dari total 1.232 unit kepada MBR dengan harga mulai Rp 9 juta per meter persegi.
Sedangkan di Pondok Cina, hunian untuk MBR sebanyak 848 unit atau 30 persen dari total unit dijual dengan harga yang lebih murah, yaitu Rp 7 juta per meter persegi. Sementara itu, Waskita telah menandatangani nota kesepahaman dengan KAI sebagai pemilik lahan untuk membangun TOD Stasiun Bogor. Namun untuk harganya belum ditentukan secara resmi. Adapun Wika baru saja memulai pembangunan TOD Stasiun Pasar Senen. Sebanyak 480 unit atau 35 persen dari total unit, hanya bisa dibeli oleh MBR dengan harga yang ditetapkan Rp 7 juta per meter persegi. Harga Asbes
Adapun PT PP membangun TOD di Stasiun Juanda dan Tanah Abang. Di Stasiun Juanda, hunian yang dibangun sebanyak 627 unit dengan 171 unit di antaranya diperuntukkan untuk MBR. Sedangkan di Tanah Abang, unit khusus MBR juga sebanyak 35 persen dari total 1.110 unit. Jadi, generasi milenial, pilih jalan-jalan atau beli hunian?